Jumat, 29 April 2016

Teori permintaan uang: pemikiran klasik & keynes



Teori permintaan uang: pemikiran klasik & keynes
A.    Latar Belakang
Dalam setiap pembahasan mengenai permintaan uang perlu diperjelas mengenai definisi uang. Hal ini mengingat adanya banyak definisi mengenai uang. Dalam hal ini, uang didefinisikan sebagai alat tukar (medium of exchange), yaitu suatu barang atau kekayaan riil yang secara umum dapat diperima sebagai pembayaran. Uang juga dipergunakan sebagai penyimpan nilai dan sebagai alat pengukur, atau secara ringkasnya biasa dinyatakan dalam satuan uang.

Jumlah uang yang diminta dalam suatu perekonomian, termasuk berbagai jenis kekayaan moneter lain, sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembagaan, peraturan pemerintah dan perkembangan teknologi. Teori permintaan uang sebenarnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori tentang alokasi sumber-sumber ekonomi yang sifatnya terbatas, manusia haruslah memilih alokasi yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Salah satu bentuk kekayaan seseorang adalah uang. Semakin banyak uang yang dipegang maka semakin kaya. Selain uang, kekayaan juga dapat diwujudkan dalam bentuk surat berharga, deposito atau barang. Namun kebanyakan orang lebih banyak memilih kekayaan dalam bentuk uang daripada dirupakan menjadi surat berharga atau deposito berjangka.
Melalui makalah ini, pemakalah ingin menjawab pertanyaan mengenai penyebab seseorang memilih kekayaannya dalam bentuk kas.
B.     Rumusan Masalah
1)      Bagaimana pengertian tentang teori permintaan uang menurut pendapat Klasik?
2)      Bagaimana pengertian tentang teori permintaan uang menurut pendapat Keynes?
C.     Tujuan
1)      Memahami pengertian dari teori permintaan uang menurut pendapat Klasik.
2)      Memahami pengertian dari teori permintaan uang menurut pendapat Keynesian.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Permintaan Uang Klasik
Teori permintaan uang Klasik bermula dari teori tentang jumlah uang yang beredar dalam masyarakat (teori kuantitas uang). Teori ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan tentang alasan seseorang menyimpan uang dalam bentuk kas, namun lebih pada peranan uang dalam perekonomian.[1] Teori ini sebenarnya adalah teori mengenai permintaan dan penawaran akan uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus dari teori ini adalah pada hubungan antara penawaran uang atau jumlah uang beredar dengan nilai uang atau tingkat harga. Hubungan dua variable dijabarkan lewat konsepsi teori mengenai permintaan akan uang. Perubahan akan jumlah uang beredar atau penawaran uang berinteraksi dengan permintaan akan uang dan selanjutnya menentukan nilai uang. Dengan sederhana Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang sebagai berikut:
M.V = P.T
Dimana: M = Jumlah Uang Beredar (JUB)
V = Perputaran uang dari satu orang ke orang lain dalam satu periode
P = Harga barang
T = Volume barang yang diperdagangkan
Persamaan di atas menunjukkan bahwa nilai barang yang diperdagangkan (sisi kanan dari tanda sama dengan) sama besarnya dengan JUB dikalikan dengan kecepatan perputarannya. Meskipun persamaan di atas tidak mencerminkan permintaan uang, namun dapat diubah bentuk menjadi persamaan permintaan uang. Fisher mengatakan bahwa permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi. Setiap perekonomian dalam setiap tahap pertumbuhannya mempunyai sistem kelembagaan yang menentukan sifat dari proses transaksi. Besar kecilnya nilai perputaran uang setiap periode tertentu (V) ditentukan oleh sifat dari proses transaksi yang berlaku di masyarakat dalam suatu periode tertentu. Sistem kelembagaan ini mencakup faktor-faktor misalnya tingkat “monetisasi” sektor ekonomi (masyarakat agraris tradisional memerlukan uang yang lebih kecil untuk setiap volume transaksi daripada masyarakat industri), kebiasaan memberi kredit perdagangan oleh supplier kepada pembelijuga bisa mengakibatkan menurunnya kebutuhan akan uang dan jaringan perbankan memungkinkan dana bisa dikirim antar daerah secara cepat dan mengakibatkan kebutuhan uang menurun.
Implikasi dari teori moneter dari Irving Fisher adalah:
(1)   Permintaan akan uang dalam masyarakat merupakan suatu proporsi dari volume transaksi, dan volume transaksi merupakan suatu proporsi konstan pula dari tingkat pendapatan nasional. Jadi permintaan uang pada analisa terakhir ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional saja, tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tingkat bunga.
(2)   Dari segi kebijaksanaan ekonomi makro, teori moneter ini mempunyai implikasi yang penting, yaitu bahwa tingkat pendapatan nasional equilibrium tidak bisa dipengaruhi oleh kebijaksanaan fiskal. Dalam kasus ini kebijaksanaan moneterlah yang paling efektif untuk mengendalikan tingkat pendapatan nasional.[2]
Selain Irving Fisher, Marshall dan Pigou juga berpendapat mengenai permintaan uang. Teori Marshall dan Pigou (dikenal dengan teori Cambridge) tidak jauh seperti halnya teori Fisher, teori Cambridge berpangkal pokok pada fungsi uang sebagai alat tukar umum (means of exchange). Karena itu, teori-teori Klasik melihat kebutuhan uang atau permintaan akan uang dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat tukar yang likuid untuk tujuan transaksi. Perbedaan utama antara teori ini dengan Fisher, terletak pada tekanan dalam teori permintaan uang Cambridge pada perilaku individu dalam mengalokasikan kekayaannya antara berbagai kemungkinan bentuk kekayaan, yang salah satunya berbentuk uang. Perilaku ini dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi dari pemegang kekayaan dalam bentuk uang. Teori Cambridge lebih menekankan faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung-rugi) yang menghubungkan antara permintaan akan uang seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya. Teoritisi Cambridge mengatakan bahwa permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi dan faktor kelembagaan (Fisher), juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan warga masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai masa mendatang. Dalam teori Cambridge, permintaan uang dirumuskan dengan:
M = k.P.Y
dimana Y = Pendapatan nasional riil
 P = Tingkat harga umum
Perbedaan ini cukup penting, karena teori Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti tingkat bunga dan expectation berubah, walaupun dalam jangka pendek. Dan kalau faktor-faktor berubah maka k juga berubah. Teori Cambridge mengatakan kalau tingkat bunga naik, ada kecenderungan masyarakat mengurangi uang yang ingin mereka pegang, meskipun volume transaksi yang mereka rencanakan tetap. Demikian juga faktor expectation mempengaruhi, seandainya masa datang tingkat bunga akan naik (yang berarti penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan cenderung untuk mengurangi jumlah surat berharga yang dipegangnya dan menambah jumlah uang tunai yang mereka pegang[3].
Teori Cambridge adalah selangkah lebih maju dari teori Fisher, meskipun keduanya jelas masih dalam tradisi teori uang Klasik.
B.   Teori Permintaan Uang Keynes
Keynes menerangkan mengapa seseorang memegang uang kas berdasarkan kegunaan uang. Dalam teorinya tentang permintaan akan uang kas, Keynes membedakan antara motif transaksi (dan berjaga-jaga) serta spekulasi.[4] Seseorang memerlukan uang karena dia akan melakukan transaksi dan untuk berjaga-jaga (kalau sakit, terkena musibah dan sebagainya yang pada akhirnya merupakan kegiatan transaksi). Selain itu orang mau memegang uang karena motif spekulasi, dalam hal ini dilakukan bertujuan untuk memperoleh hasil dari uang yang dipegang maksimum, dengan cara mengkombinasikan uang yang dipegang dengan bentuk kekayaan lainnya.
a.   Motif permintaan uang untuk tujuan transaksi
Individu atau perusahaan memerlukan uang kas untuk melakukan transaksi. Transaksi ini sering terjadi tidak bersamaan waktunya dengan penerimaan uang. Pengeluaran ini sering kali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu, sehingga sangat diperlukan adanya uang kas di tangan. Meskipun seandainya pengeluaran dan penerimaan itu dapat diperkirakan dengan tepat, namun uang kas di tangan tetap diperlukan. Sebab penerimaan yang diharapkan mungkin tidak jadi di terima, atau pengeluaran untuk transaksi yang sangat penting untuk dilakukan sebelum waktu penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang memberikan keuntungan besar sangat menarik untuk dilakukan sebelum penerimaan datang dan sebagainya.

Keynes mengatakan bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Ketergantungan permintaan uang untuk transaksi terhadap pendapatan dapat digambarkan sebagai berikut:

Permintaan uang untuk transaksi ditunjukkan dengan L. Terlihat semakin tinggi pendapatan maka semakin banyak uang yang dipegang untuk keperluan transaksi (M). Hubungan antara permintaan uang untuk transaksi dengan pendapatan riil (Y/P) tidak selalu linier (garis lurus). Berbeda dengan kaum Klasik. Keynes lebih menekankan permintaan uang untuk spekulasi.
b.      Motif permintaan uang untuk tujuan spekulasi
Sesuai dengan namanya, motif dari memegang uang ini adalah terutama untuk tujuan memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh dari seandainya si pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Pada teori Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan (uncertainly) dan faktor harapan (expectations) dari pemilik kekayaan bisa mempengaruhi permintaan akan uang dari pemilik kekayaan tersebut. Namun teori seperti itu tidak pernah membakukan faktor-faktor tersebut ke dalam perumusan teori moneter mereka. Perumusan permintaan uang untuk motif spekulasi dari Keynes merupakan langkah “formalisasi” dari faktor-faktor tertentu dalam teori moneter.[5]
Keynes tidak membicarakan faktor “uncertainly” dan “expectations” secara umum, seperti teori Cambridge. Tetapi ia membatasi “uncertainly” dan “expectations” mengenai satu variable yaitu tingkat bunga. Pada garis besarnya teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan, sedangkan obligasi dianggap memberikan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode. Dalam teori Keynes dibicarakan khusus obligasi yang memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode selama waktu yang tak terbatas (perpetuity).
Secara umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut:
K = R.P
Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah tingkat bunga, dan P adalah harga pasar atau nilai sekarang dalam obligasi “perpetuity” tersebut. Persamaan tersebut bisa juga ditulis sebagai berikut:
P = K/R
yang menunjukkan bahwa (karena K adalah konstan) harga pasar obligasi (P) berbanding terbalik dengan tingkat bunga R. Apabila tingkat bunga turun, maka harga pasar obligasi naik, dan sebaliknya apabila tingkat bunga naik maka harga pasar obligasi turun, atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat suku bunga semakin rendah permintaan uang kas oleh seseorang atau masyarakat. Karena, semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin besar ongkos memegang uang tunai sehingga seseorang atau masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat suku bunga semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos memegang uang tunai dan semakin besar seseorang atau masyarakat untuk menyimpan uang tunai.
Suatu hal yang perlu dicatat mengenai mekanisme permintaan akan uang untuk motif spekulasi seperti yang dikemukakan di sini adalah bahwa semuanya berkisar pada harapan mengenai perubahan tingkat bunga di masa mendatang.Apa yang menetukan harapan seseorang akan gerak dari tingkat bunga? Mengenai hal ini Keynes mengatakan bahwa pada suatu waktu seseorang mempunyai pendapat mengenai tingkat bunga yang ia anggap “normal”. Bila pada suatu waktu tingkat bunga yang berlaku lebih tinggi dari tingkat bunga yang ia anggap normal, maka ia akan mengharapkan bahwa tingkat bunga akan turun di masa mendatang.
Teori moneter Keynes ini mempunyai implikasi-implikasi teori maupun kebijaksanaan yang penting, yang berbeda dengan teori-teori Klasik, yaitu:
(1)     Teori Klasik mempunyai ciri dasar bahwa perubahan volume uang beredar tidak mempengaruhi tingkat maupun komposisi pengeluaran dalam masyarakat. Volume jumlah uang yang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga umum (P).
(2)      Teori permintaan akan uang dari Keynes mempunyai implikasi bahwa permintaan uang adalah fungsi yang tidak stabil, dalam arti bahwa fungsi ini bisa bergeser dan berubah posisi dengan cepat dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan karena Keynes menekankan peranan faktor uncertaity dan expectationdalam menetukan posisi permintaan uang untuk tujuan spekulasi.

BAB III
KESIMPULAN
            Perkembangan teori permintaan uang ternyata semakin pesat. Berbagai studi empiris telah dilakukan untuk mendukung perkembangan teori di atas. Perkembangan teori Keynes menunjukkan bahwa motif permintaan uang untuk transaksi juga dipengaruhi oleh tingkat bunga. Beberapa catatan mengenai model permintaan uang menyangkut masalah ketidakpastian, model antar generasi, kendala cash in advance dan jangka waktu. Selain permasalahan di atas, perkembangan teknologi transaksi dan institusi yang menjadi latar belakang studi masih memberikan alternatif tantangan studi model permintaan uang.
Kesimpulan-kesimpulan dari hasil studi empiris model permintaan uang masih selalu bersifat tentatif. Berbagai permasalahan ini menunjukkan bahwa studi tentang model permintaan uang belum berakhir dan masih tetap menarik.


DAFTAR PUSTAKA
Boediono. 1985. Pengantar Ilmu Ekonomi: Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Prasetya, Eka dalam http://ekaprasetyaa.blogspot.com/2013/01/teori-permintaan-uang-menurut-klasik.html (diakses pada tanggal 5 November 2014).
[2] Boediono. Pengantar Ilmu Ekonomi: Ekonomi Moneter. (Yogyakarta: 1985). Hal: 20.
[3] Op citBoediono. Hal: 26.
[4] Ibid. Hal: 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar